
Korsa.id – Bagi banyak perempuan, kelahiran seorang anak adalah salah satu momen paling membahagiakan dalam hidup. Namun, tidak semua perjalanan ini berjalan mulus. Pada beberapa ibu ada yang mengalami depresi postpartum, atau sebuah kondisi psikologis serius yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayinya. Di Indonesia, isu ini kerap diabaikan karena kurangnya pemahaman dan stigma sosial.
Depresi postpartum atau deperesi pasca persalinan adalah gangguan mood yang terjadi setelah melahirkan, terjadi pada 4-6 minggu setelah melahirkan, bahkan dapat terjadi sampai 1 tahun setelah melahirkan.
Gejalanya meliputi rasa sedih yang mendalam, kehilangan minat, kelelahan berlebihan, sulit tidur, perasaan tidak mampu menjadi ibu yang baik, kehilangan nafsu makan, kecemasan, lekas marah (memiliki sikap bermusuhan terhadap bayinya), menyalahkan diri sendiri, kesulitan menjalin ikatan dengan bayi mereka, hingga perasaan putus asa.
Berbeda dengan “baby blues” yang bersifat sementara. Depresi postpartum merupakan kondisi depresi berat yang memerlukan perhatian medis.
Angka kejadian depresi postpartum di Asia tergolong tinggi, dengan prevalensi antara 26-85%. Di Indonesia prevalensinya berkisar antara 50-70% pada wanita pasca melahirkan. Studi yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan data serupa.
Pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik, Medan tahun 2009 melaporkan bahwa dari 50 ibu pasca persalinan spontan yang dirawat inap, 16% di antaranya mengalami depresi postpartum. Sementara itu, di RS KIA Sadewa Yogyakarta pada tahun 2017, angka kejadian depresi postpartum tercatat sebesar 7,7%. Data ini menunjukkan pentingnya perhatian terhadap depresi postpartum, mengingat insiden yang masih tinggi diberbagai daerah.
Berbagai faktor dapat meningkatkan risiko seorang ibu mengalami depresi postpartum, antara lain:
- Perubahan hormon : Penurunan kadar estrogen dan progesteron yang drastis dapat memengaruhi keseimbangan neurotransmiter otak, seperti serotonin, yang berperan dalam pengaturan suasana hati. Selain itu, hormon lain seperti tiroid juga dapat mengalami fluktuasi, yang berkontribusi pada munculnya gejala kelelahan, depresi, atau gangguan emosional.
- Kelelahan fisik dan emosional : kelelahan akibat kurang tidur, dan tuntutan baru sebagai pengasuh bayi dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, cemas, atau depresi.
- Riwayat kesehatan mental : Ibu yang memiliki riwayat depresi, gangguan kecemasan,
atau gangguan suasana hati lainnya sebelum kehamilan memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi postpartum. Riwayat keluarga dengan gangguan mental juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi postpartum, karena adanya komponen genetik yang turut memengaruhi. - Dukungan sosial yang minim : Kurangnya bantuan dari pasangan, keluarga, atau teman.
- Masalah ekonomi : Tekanan finansial sering kali memperburuk kondisi.
Jika tidak segera ditangani dengan baik, depresi postpartum dapat memengaruhi hubungan ibu dan bayi. Ibu mungkin merasa tidak mampu memberikan perhatian penuh kepada bayinya, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perkembangan emosional dan kognitif anak.
Langkah Pencegahan dan Penanganan
- Meningkatkan kesadaran: Edukasi masyarakat untuk memahami bahwa depresi postpartum bukanlah kelemahan, melainkan kondisi medis.
- Mendapatkan dukungan: Keluarga dan pasangan berperan penting dalam membantu ibu.
- Bantuan profesional: Konsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk terapi atau pengobatan.
- Membangun komunitas: Bergabung dengan kelompok pendukung ibu baru dapat memberikan rasa solidaritas.
Depresi postpartum merupa isu kesehatan mental yang memerlukan perhatian serius. Dengan edukasi, dukungan, dan perawatan yang tepat, ibu yang mengalamin depresi postpartum dapat pulih dan kembali menjalani peran mereka dengan bahagia. Sudah saatnya masyarakat lebih peduli terhadap kesehatan mental ibu postpartum agar mereka tidak merasa berjuang sendirian.
dr. Yoshepine Isabella Sp.Kj
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RSUD Kudungga