Disdikbud Kukar Maksimalkan Dukungan untuk SKB dan PAUD demi Kurangi Angka Putus Sekolah

Korsa.id, Tenggarong – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) terus berupaya mengatasi tingginya angka putus sekolah, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki tantangan geografis dan kepadatan penduduk yang rendah.
Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah dengan memperkuat peran Satuan Pendidikan Nonformal (SPNF), khususnya Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
“Wilayah kita luas dan penduduknya jarang-jarang. Sementara angka putus sekolah masih tinggi. Kalau hanya mengandalkan SKP yang dikelola masyarakat, hasilnya tergantung mereka juga. Tapi kalau SKB, pemerintah daerah yang langsung turun tangan, jadi dukungan bisa lebih maksimal,” ujar Kepala Bidang PAUD dan Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Disdikbud Kukar, Fujianto, Sabtu (10/5/2025).
Dengan keberadaan SKB, jumlah peserta pendidikan nonformal pun meningkat secara signifikan.
“Dari tahun 2022 ke 2023, jumlah siswa di SKB dan PKBM untuk paket A dan B naik drastis. Dulu hanya sekitar 3.000 siswa, sekarang bisa dapat 1.500.000,” jelasnya.
Tak hanya itu, SKB juga menawarkan berbagai kursus keterampilan, dan semua layanan tersebut diberikan secara gratis kepada masyarakat. Hal ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan.
Dukungan anggaran pun mendapat perhatian serius. “Pak Bupati sangat konsen terhadap pengentasan kemiskinan, karena putus sekolah ini salah satu indikator kemiskinan. Kami didukung secara anggaran, meskipun bidang PAUD dan PNFI mendapatkan porsi yang paling kecil dibanding SMP,” katanya.
Terkait maraknya yayasan yang mendirikan lembaga pendidikan seperti PAUD dan PKBM, dinas pendidikan memberikan pengawasan ketat melalui proses verifikasi. “Boleh mendirikan yayasan, tapi harus memenuhi standar. Misalnya harus ada guru S1, gedung yang layak meskipun pinjam atau sewa, dan jumlah murid minimal 15 orang,” jelasnya.
Ia juga menyoroti banyak yayasan yang hanya berdiri secara formal namun mengandalkan pembiayaan dari masyarakat atau pemerintah.
“Kalau di desa ada yayasan yang tidak berfungsi, kami dorong agar desa mengambil alih. Supaya lebih terjamin kesejahteraan guru dan fasilitas belajar,” tambahnya.
Standar lainnya dalam pendirian PAUD mencakup ketersediaan alat permainan edukatif seperti perosotan dan ayunan, serta kesiapan dalam metode pembelajaran.
“Kalau hanya punya gedung kosong, tidak bisa begitu saja mendirikan PAUD,” tegasnya.
Mengenai lembaga penitipan anak, dinas pendidikan hanya menangani yang resmi mendaftar.
“Kalau yang tidak mendaftar, kami tidak tahu keberadaannya. Baru ketahuan kalau muncul kasus. Tapi kalau mereka datang untuk dilegalkan, tentu kami bantu,” pungkasnya.(adv/dr/ly)